Minggu, 25 Januari 2009

Mekanisme Inflamasi

MEKANISME PADA INJURY JARINGAN

INFLAMASI

Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena tubuh mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau proses self-destructive (autoimun). Walaupun ada kecenderungan pada pengobatan klinis untuk memperhatikan respon inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan tubuh, dari sudut pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting sebagai sebuah respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadi injury (preinjury) atau untuk memperbaiki secara mandiri setelah terkena injury. Respon inflammatory adalah reaksi protektif dan restoratif dari tubuh yang sangat penting karena tubuh berupaya untuk mempertahankan homeostasis dibawah pengaruh lingkungan yang merugikan.

Tanda-tanda klasik inflamasi sudah dikenal dengan baik, yaitu bengkak, kemerahan, panas, sakit, dan perubahan fungsi. Respon inflammatory sangat tergantung pada pembuluh darah yang utuh dan sel-sel sirkulasi serta cairan di dalam pembuluh tersebut. Pada umumnya, ada tiga status inflamasi yang diketahui yaitu akut, subakut, dan kronis, masing-masing ditetapkan berdasarkan kriteria histologis tipikal. Respon inflammatory akut ditandai dengan dilatasi pembuluh-pembuluh darah serta melimpahnya leukosit dan cairan. Terlihat kemerahan (eritema) disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah, bengkak (edema) disebabkan oleh pelepasan cairan ke dalam jaringan lunak, dan kaku (mengeras) karena akumulasi cairan dan sel-sel. Hasil dari proses tersebut menyebabkan hilangnya kapasitas normal pembuluh darah untuk mempertahankan cairan dan sel-sel di dalam sistem vaskular, meskipun demikian beberapa perubahan tidak menunjukkan adanya kerusakan struktur pembuluh. Leukosit kemungkinan tertarik oleh substansi kimia yang berdifusi ke dalam pembuluh dari sisi ekstravaskular. Selain itu, diketahui bahwa pelepasan faktor-faktor tertentu, misalnya histamin dari sel-sel mast jaringan, selanjutnya dapat merubah pembuluh menjadi permeabel terhadap cairan plasma. Pada kebanyakan kasus, respon inflammatory akut menunjukkan efek aksi mediator pada pembuluh darah, daripada injury nonspesifik ke pembuluh, menghasilkan pelepasan selektif cairan dan sel. Setelah terjadi trauma mekanis atau thermal injury, perubahan vasopermeabilitas terjadi lebih awal pada respon inflammatory akut. Kenyataannya, permeabilitas histamine-dependent terjadi dalam hitungan menit setelah thermal injury, kemungkinan disebabkan oleh pelepasan kandungan granular dari sel-sel mast jaringan. Fase permeabilitas ini berlangsung cepat, berakhir hanya dalam beberapa menit saja. Dalam 30 menit, dimulai fase permeabilitas yang lebih panjang (prolonged). Mediator yang bertanggungjawab dalam memperlambat fase untuk meningkatkan permeabilitas ini belum diketahui dengan jelas namun dipercaya melibatkan beberapa faktor, termasuk produk-produk komplemen, kinin, dan prostaglandin.

Dalam 30 sampai 60 menit setelah injury, granulosit neutrofilik muncul. Pertama kali membentuk cluster disepanjang sel-sel endotelial pembuluh pada area injury. Akumulasi neutrofil dalam jumlah besar ini, yang masih di dalam lumen pembuluh, disebut dengan marginasi. Segera setelah itu, leukosit meneruskan perjalanan keluar dari pembuluh dengan cara menyelinap/menekan melalui junction diantara sel-sel endotelial (Fig. 12-1). Dalam beberapa menit, granulosit sudah berada di ekstravaskular dan mulai terakumulasi pada area injury (Fig. 12-1). Ketika sudah keluar dari batas pembuluh, neutrofil membentuk garis pertahanan terhadap invasi mikroorganisme. Fungsi utama dari neutrofil adalah untuk memakan (fagosit) atau menghancurkan benda-benda asing potensial berbahaya, seperti bakteri. Dalam 4-5 jam, jika respon inflammatory akut masih berlanjut, sel-sel mononuklear (termasuk limfosit dan monosit) akan muncul pada sisi inflamasi, setelah meninggalkan pembuluh melalui mekanisme yang sama dengan neutrofil. Kehadiran sel-sel ini menambah barier protektif diantara benda-benda asing dan channel (saluran) limfatik, pembuluh darah, dan jaringan sekitar. Monosit memperkuat pertahanan dengan menambah fungsi fagositnya pada area tersebut, sementara limfosit membawa kapasitas imunologis untuk merespon terhadap benda-benda asing dengan fenomena humoral dan cell-mediated spesifik.

Penjelasan yang ada sejauh ini masih menekankan pada fungsi protektif dari proses inflammatory. Namun harus dipahami bahwa jika respon inflammatory menyimpang dari biasanya, maka akan menimbulkan akibat serius. Jika cairan yang keluar dari pembuluh vaskular ke area injury terlalu banyak/melimpah, misalnya pada otak akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial serius. Akumulasi cairan karena inflamasi pada kavitas pleural atau perikardial secara serius dapat membahayakan fungsi organ. Demikian juga dengan kehadiran neutrofil dalam jumlah berlebihan dan kemudian mengeluarkan kandungan enzimatiknya dapat menyebabkan kerusakan struktural serius. Hal ini dapat digambarkan dengan baik pada kasus-kasus vasculitis atau nephritis imunologik, dimana terjadi kehancuran membran basement yang diakibatkan oleh hidrolisis enzimatik, kadang dengan akibat catastrophic. Banyak penyakit yang dihadapi oleh dokter disebabkan oleh respon inflammatory yang tidak terkontrol. Contoh-contoh dari penyakit yang disebabkan oleh respon inflammatory yang berlebihan atau tidak terkontrol diantaranya kerusakan sendi pada rheumatoid arthritis, kerusakan fungsional dan struktural pada glomerulonephritis, dan penyakit-penyakit demyelinating pada sistem saraf pusat. Treatment untuk kelainan-kelainan ini (karena kami kekurangan informasi mengenai agen-agen penyebabnya) adalah dengan terapi anti-inflammatory. Beberapa dari area-area yang sedang dalam penyelidikan aktif yang menjadi perhatian pada saat ini adalah identifikasi dan karakterisasi mediator respon inflammatory akut dan mekanisme dimana keseimbangan homeostasis atau imunologis dapat dipertahankan.

Mediator-mediator pada respon inflammatory akut dapat dibagi menjadi yang berfungsi dalam vasopermeabilitas atau kemotaktik (leukotaktik). Faktor-faktor vasopermeabilitas mencapai efeknya dengan menyebabkan pembukaan endothelial junctions reversibel, kemungkinan dihasilkan dari aktivasi elemen-elemen kontraktil di dalam sel-sel endotelial. Pembukaan junction akan membuka aliran solute (elektrolit, air dan protein) sampai junction menutup kembali, pada saat itu perubahan permeabilitas berkurang. Faktor-faktor permeabilitas termasuk vasoaktif amina (histamin dari mast sel dan basofil, serotonin dari platelet), peptida, dan lipid. Peptida dengan aktifitas vasopermeabilitas melibatkan kinin (yang paling banyak dikenal adalah bradikinin, yang dihasilkan setelah aktivasi plasma kallikrein) dan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang dihasilkan dari sistem komplemen. Pada kulit manusia, C3a dengan konsentrasi sebesar 10–12M dapat meningkatkan permeabilitas.

Salah satu kemajuan terbaru yang paling signifikan dalam bidang imunologi adalah ditemukannya faktor-faktor lipid-related vasopermeability termasuk beberapa produk polyunsaturated fatty acids (elcosanoids), dimana arachidonic acid memainkan peranan sangat vital (Fig. 12-2). Setelah aktivasi leukosit oleh berbagai agen (faktor-faktor kemotaktik, stimuli fagositik, dan sebagainya), membrane-associated phospholipase diaktifkan. Dari sini arachidonate melanjutkan metabolisme melalui dua pathway : pathway pertama menghasilkan seri senyawa leukotriene (LT) yang kemudian menjadi LTA4 hingga LTF4 ; pathway kedua (cyclo-oxigenase) menghasilkan berbagai metabolit, termasuk prostaglandin (dengan prostacyclins) dan thromboxane. Faktor yang menentukan produk yang akan dihasilkan adalah tipe sel yang dipertimbangkan (misalnya sel-sel endotelial menghasilkan sejumlah besar prostacyclin, sementara hasil utama dari platelet adalah thromboxane).

Fungsi Biologis Metabolit-Metabolit Arachidonic Acid : Leukotrienes, Prostaglandins (Termasuk Prostacyclins), dan Thromboxanes. Fungsi imun paling penting dari metabolit arachidonic acid diperlihatkan pada Tabel 12-1. Fungsi biologis leukotrienes termasuk aktifitas kemotaktik yang berhubungan dengan LTB4 (dan 5-HETE dengan fungsi yang lebih sedikit) dan aktifitas kontraktil otot halus untuk LTC4, LTD4, dan LTE4. Untuk fungsi biologis yang kedua, aktifitas spasmogenik hasilnya setara/sama dengan apa yang aslinya disebut sebagai slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Senyawa leukotriene LTC4–LTE4 juga menyebabkan peningkatan sekresi mukus dan mempunyai efek terbatas dalam meningkatkan perubahan-perubahan vasopermeabilitas. Produk-produk cyclo-oxigenase melibatkan aktifitas vasokonstriktif dan agregasi platelet (thromboxane A2), aktifitas vasodilatasi dan efek antiagregasi pada platelet (prostacyclin), dan beberapa aktifitas spasmogenik dan vasopermeabilitas (PGE2). Prostaglandin E2 dan I2 juga mempengaruhi respon fungsional dari berbagai macam leukosit dengan meningkatkan level intraseluler cyclic AMP. Pada umumnya, keseluruhan sistem metabolit arachidonate acid melibatkan area kompleks biologis lipid aktif dengan sejumlah aktifitas proinflammatory.

Faktor-faktor kemotaktik menunjukkan peran yang penting sebagai mediator inflammatory. Efeknya dalam interaksi dengan reseptor-reseptor permukaan pada leukosit. Interaksi reseptor kemotaktik menghasilkan kation (Na+, K+, Ca+ +) yang mengalir diantara membran sel, menyebabkan depolarisasi dan hiperpolarisasi. Pada saat yang sama, terjadi aktivasi phospholipase, yang menghasilkan stimulasi terhadap metabolisme arachidonate. Tampaknya bahwa aktivasi pathway lipoxygenase menghasilkan munculnya beberapa lipid kritis yang memfasilitasi respon sel terhadap sinyal kemotaktik (LTB4). Termasuk di dalam respon leukosit terhadap stimulus kemotaktik adalah focal area pada membran sel yang berikatan semakin kuat, kemungkinan menambah tumpuan sel pada permukaan sehingga menimbulkan kejadian-kejadian kontraktil yang kemudian menghasilkan gerakan sel. Dengan kondensasi actin filament disekitar reseptor kemotaktik-ligand complexes, sel membentuk aparatus kontraktil yang akan memudahkan gerakan sel.

Meskipun respon motility leukosit paling jelas adalah interaksi faktor kemotaktik-reseptor, respon fungsional dan biokimia lain juga terjadi. Respon-respon tersebut yaitu peningkatan glikolisis, aktivasi pathway hexose monophosphate, menghasilkan produk-produk oksigen toksik (misal anion superoksida , H2O2, radikal hidroksil OH, oksigen tunggal 1O2), dan sekresi kandungan granula lisosomal ke lingkungan eksterior sel (protease, glikosidase, dan sebagainya). Kemampuan stimulasi kemotaktik leukosit untuk menyebabkan respon multifungsional banyak menarik perhatian, karena derivat oksigen toksik yang dihasilkan dan protease yang dilepaskan dapat menimbulkan injury pada jaringan.

Faktor-faktor kemotaktik dibagi menjadi tiga kategori struktural : peptida, protein, dan lipid. Salah satu jenis peptida yaitu N-formyl oligopeptides yang dihasilkan oleh bakteri termasuk dalam golongan yang penting. Produk aktivasi langsung dari sistem komplemen dalam C5a adalah glikopeptida dengan berat molekul 12.500. Reseptor-reseptor untuk C5a ditemukan pada neutrofil, monosit, dan makropag. Dipercaya bahwa eosinofil dan basofil juga mengandung reseptor-reseptor tersebut. Sel-sel endotelial juga mengandung reseptor-reseptor untuk C5a, setelah kontak dengan C5a mampu untuk melekat pada leukosit. Protein-protein dengan aktifitas kemotaktik untuk leukosit secara struktural tidak diketahui namun ikut serta dalam aktifitas cairan limpokin. Lipid dengan aktifitas kemotaktik untuk leukosit sudah ada lebih awal termasuk metabolit-metabolit arachidonate seperti leukotriene (LTB4) dan senyawa HETE. Berdasarkan data-data tersebut, jelas bahwa faktor-faktor kemotaktik bisa dibangkitkan/dihasilkan dari beberapa cara : setelah aktivasi sistem komplemen; melalui protease (seperti leukositik elastase dan cathepsin G) yang akan memecah C5a; melalui stimulasi leukosit yang menghasilkan pelepasan metabolit-metabolit arachidonate (lipoksigenase); dan melalui aktivasi T-sel. Telah diketahui juga bahwa limfosit itu sendiri dibawah kontrol kemotaktik, meskipun sifat dari faktor-faktor yang mempengaruhi T-sel dan B-sel masih belum diketahui dengan jelas.

Defek pada daya respon kemotaktik pada leukosit manusia menunjukkan frekuensi yang tidak terduga. Abnormalitas kemungkinan tidak berhubungan dengan problem klinis atau mungkin disertai dengan infeksi bakteri rekuren yang dapat mengancam nyawa. Yang mengherankan, kerentanan terhadap infeksi virus tidak berhubungan dengan defek pada kemotaksis leukosit. Defek pada manusia bersifat selular dan humoral. Defek selular biasanya didapat (acquired) dan reversibel, seperti yang ditemukan defek-defek yang berhubungan dengan kelainan-kelainan metabolik. Perkecualian defek selular yang bersifat genetik, seperti pada sindrom Chédiak-Higashi, namun jarang ditemukan. Defek humoral melibatkan sistem kemotaktik yang terjadi dalam kondisi defisiensi faktor-faktor plasma (seperti pada defisiensi genetik C5a). Selain itu, level abnormal faktor regulatory pada plasma untuk sistem kemotaktik kemungkinan berhubungan dengan defek kemotaksis.

Respon inflammatory subakut menurut definisinya adalah fase tertunda dari respon inflammatory akut yang ditandai dengan akumulasi limfosit dan monosit serta pembentukan jaringan granulasi. Sebagai contoh, satu sampai tiga hari setelah laserasi kulit, terjadi proliferasi dramatis sel-sel endotelial dan fibroblas. Secara kolektif, sel-sel ini membentuk hutan lebat berupa kapiler-kapiler halus yang tumbuh ke dalam area injury (Fig. 12-3 dan 12-4). Kapiler-kapiler meningkatkan suplay darah ke area injury dan menyediakan nutrisi untuk mempercepat proses metabolik pada area inflamasi. Fibroblas secara aktif mensintesa protein dan mukopolisakarida, dan fungsi utamanya adalah deposisi kolagen pada area injury. Pada saat ini sudah diketahui bahwa proliferasi sel-sel endotelial dipicu oleh faktor-faktor yang dihasilkan dari activated
T-lymphoid cells
atau activated macrophages. Faktor-faktor plasma dan platelet juga diketahui mempunyai aktifitas mempengaruhi pertumbuhan sel-sel endotelial. Faktor-faktor pertumbuhan fibroblas, yang menyebabkan proliferasi sel serta meningkatkan sintesis kolagen, juga ditemukan dalam cairan supernatant pada activated T-cells atau makropag. Fibroblas mensekresi tropokolagen dan pada akhirnya membentuk rantai silang (cross-linked), kekuatan/daya tarik jaringan secara bertahap meningkat dan mencapai kekuatan maksimum dalam lima hari, pada saat itu terbentuk jembatan jaringan ikat diatas area yang sebelumnya terbuka. Agar jaringan sembuh dengan sempurna, harus tersedia nutrisi yang mencukupi setelah pembedahan. Bersamaan dengan munculnya jaringan granulasi terjadi proliferasi sel-sel epitelial, yang menyediakan struktur protektif untuk area injury dan terbuka.

Bila respon inflammatory tidak berhasil memperbaiki jaringan injury seperti keadaan semula sebelum injury (misal kegagalan untuk menghilangkan substansi asing) atau bila perbaikan jaringan tidak bisa dicapai, maka statusnya akan berlanjut menjadi inflamasi kronis. Inflamasi kronis ditandai dengan masih ada limfosit, monosit, dan sel-sel plasma. Penjelasan mengapa kondisi ini berlanjut sampai tahap kronis kemungkinan karena persistensi material asing, baik dalam keadaan hidup atau mati, yang memobilisasi reaksi imunologis. Sebagai contoh, pada viral hepatitis, replikasi virus masih persisten/ada di dalam liver. Sel-sel plasma dan limfosit terakumulasi dalam jumlah besar, kemungkinan untuk membangun pertahanan imunologis pada area lokal dalam bentuk specific antibody-synthesizing B-cells atau T-lymphocytes. Persistensi sel-sel inflammatory ini dapat menyebabkan kerusakan fungsional pada jaringan, dapat disebabkan oleh aksi langsung mediator yang diuraikan oleh sel-sel limfoid, misalnya limfotoksin, atau karena deposisi terus-menerus kolagen oleh fibroblas. Bila hal ini terjadi di dalam liver, akan terbentuk jaringan parut fibrous padat yang dapat menyebabkan cirrhosis. Pada jantung, akan menyebabkan jaringan parut fibrous yang menggantikan otot.

Perlu ditekankan bahwa meskipun respon inflammatory terkait akan mengikuti perkembangan kejadian-kejadian yang telah disebutkan sebelumnya, hal ini tidak selalu menjadi masalah. Pada pneumococcal pneumonia, respon inflammatory akut berupa eksudat massif neutrofil dan deposit fibrin di seluruh lobus paru (lobar pneumonia). Bila terapi memberikan hasil yang menguntungkan, terutama dengan terapi antibiotik, seluruh eksudat hilang secara dramatis dalam 48 jam. Dalam lingkungan yang tidak biasa, respon inflammatory berlanjut ke tahap subakut, dan individual berada dalam bahaya bila eksudat diinvasi oleh jaringan granulasi. Dalam kasus ini, akibat yang ditimbulkan berupa fibrosis masif disertai kehilangan fungsional area yang luas pada paru. Pada situasi lain, seperti pada penolakan terhadap solid homograf, sel-sel inflammatory kronis (limfoid) ikut dalam reaksi inflammatory. Hanya sedikit sekali yang diketahui mengenai faktor-faktor yang menentukan dimulainya respon inflammatory atau bagaimana cara untuk mengatur atau mengontrolnya. Kurangnya pemahaman dalam bidang ini merupakan salah satu kekurangan dalam bidang ilmu kedokteran. Keberhasilan perawatan sejumlah besar penyakit masih menunggu akumulasi pengetahuan dalam bidang ini.

Inflamasi kronis tipe khusus adalah inflamasi granulomatosa. Kondisi ini pertama kali ditemukan pada tuberkulosis, dimana pada beberapa pasien tertentu sekarat karena penyakit dan ditemukan granula putih (granuloma) yang ganjil/khas menyebar ke seluruh tubuh. Benda-benda kecil tersebut kemudian diketahui sebagai tuberkel, yang mempunyai karakteristik akumulasi spheric fagosit besar atau sel-sel histiositik (yang sayangnya diistilahkan dengan sel-sel epitelioid). Gambaran paling menyolok dari granuloma adalah pembentukan sel-sel giant (Fig. 12-5) yang mengandung zona periferal limfosit, dengan atau tanpa sel-sel plasma. Inflamasi granulomatosa sekarang ini diketahui terjadi pada status penyakit lain dimana terdapat persistensi benda-benda asing, baik pada infeksi (misal infeksi fungal) atau noninfeksi (misal silica). Secara umum, inflamasi granulomatosa adalah hasil dari respon inflammatory yang tidak diinginkan, karena seperti pada sifilis, tuberkulosis atau infeksi helminthic, kemungkinan terjadi kerusakan yang luas pada jaringan disertai dengan kavitasi (nekrosis) atau scarring (fibrosis).

Sekarang telah diketahui bahwa inflamasi granulomatosa memperlihatkan mekanisme imunologis atau non-imunologis. Studi-studi pertama yang dilakukan oleh Warren menunjukkan bahwa pada schistosomiasis eksperimental, daya respon imunologik lengkap merupakan prasyarat untuk pembentukan granuloma. Pada penyakit tersebut, berbagai tindakan imunosupresif dapat menghalangi pembentukan granuloma dan mencegah extensive pulmonary scarring (pembentukan jaringan parut yang luas pada paru). Di sisi lain, Warren juga menunjukkan bahwa sistem lain yang dapat menyebabkan pembentukan granuloma, yang dipicu oleh injeksi talc (trisilicate), tidak terpengaruh oleh terapi imunosupresif namun secara signifikan dapat diperlambat oleh obat-obat yang mengganggu dengan cara aktivasi kinin-generating (kallikrein) system.

Dengan demikian inflamasi granulomatosa diakibatkan oleh dua mekanisme terpisah :

(1) pathway yang ditentukan secara imunologis (seperti pada inflamasi granulomatosa tuberkulosis, dengan kerusakan jaringan luas yang kemungkinan disebabkan oleh pelepasan faktor-faktor dari limfosit, dan

(2) pathway non-imunologis yang membutuhkan sistem pembentukan kinin lengkap

Injury jaringan yang disebabkan oleh reaksi imunologis asal mulanya dari respon inflammatory, yang dimulai dengan reaksi terhadap antigen dalam jaringan. Urutan kejadian dimulai oleh mediator seperti faktor leukotaktik yang dihasilkan dari sistem komplemen atau oleh faktor yang diproduksi bakteri. Begitu leukosit datang/muncul dari aliran darah, proses inflammatory dimulai dan jaringan akan recover/pulih kembali jika dapat dibentuk pertahanan leukosit yang adekuat. Sebaliknya, bila leukosit yang datang terlalu banyak, atau bila mekanisme kontrol gagal untuk berfungsi sebagaimana mestinya, jaringan akan beresiko mengalami kerusakan. Bila faktor-faktor yang menentukan perbedaan-perbedaan ini dapat dipahami dengan baik, maka tindakan terapeutik akan lebih efektif diaplikasikan untuk pencegahan penyimpangan/kelainan-kelainan tersebut daripada treatment terhadap simptom-simptom dari manifestasi penyakit.


Penyembuhan Tulang

PROSES PENYEMBUHAN TULANG YANG FRAKTUR

I. PENDAHULUAN

Fracture healing meurpakan suatu proses reparasi dari sistem muskuloskeletal untuk mengembalikan integritas skeletalnya. Proses biologi ini berlangsung sebagai konsekuensi dari sejumlah peristiwa-peristiwa biologis yang mengakibatkan pemulihan jaringan tulang, sehingga dimungkinkan muskuloskeletal dapat berfungsi kembali. Yang bertanggung jawab terhadap fracture healing adalah debridement, stabilisasi dan remodeling pada tempat fraktur tanpa fiksasi rigid.

Proses remodeling tulang berlangsung sepanjang hidup, dimana pada anak-anak dalam masa pertumbuhan terjadi keseimbangan yang positif, sedangkan pada orang dewasa terjadi keseimbangan yang negatif. Remodeling juga terjadi setelah penyembuhan suatu fraktur. Proses penyembuhan terutama tergantung karena resorbsi osteoclast dari tulang yang diikuti pembentukan tulang baru oleh osteoblast.

Pemahaman terhadap pembentukan, pertumbuhan, maturasi serta proses penyembuhan tulang merupakan hal yang sangat penting. Dengan mempelajari dan memahami fracture healing, maka penentuan treatment dan prognosis terhadap pasien yang menderita fraktur akan semakin baik.

II. KOMPOSISI TULANG DAN BONE REMODELLING

A. Komposisi Tulang

Sebagian besar tulang berupa matriks kolagen yang diisi oleh mineral dan sel-sel tulang. Matriks tersusun sebagian besar oleh kolagen tipe I yang ditunjukkan dengan adanya mucopolysacharida dan sebagian kecil ole hprotein non kolagen, seperti proteoglikan, osteonectin (bone spesific protein), osteocalsin (Gla protein) yang dihasilkan oleh osteoblast dan konsentrasinya dalam darah menjadi ukuran aktivitas osteoblast. Suatu matriks yang tak bermineral disebut osteoid yang normalnya sebagai lapisan tipis pada tempat pembentukan tulang baru. Proporsi osteoid terhadap tulang meningkat pada penyakit riketsia dan osteomalasia (Apley, 1993).

Mineral tulang terutama berupa kalsium dan fosfat yang tersusun dalam bentuk hydroxyapatite. Pada tulang mature proporsi kalsium dan fosfat adalah konstan dan molekulnya diikat oleh kolagen. Demineralisasi terjadi hanya dengan resorbsi seluruh matriks(Apley, 1993).

Sel tulang terdiri 3 macam : osteoblast, osteosit dan osteoclast. Osteoblast berhubungan dengan pembentukan tulang, kaya alkaline phosphatase dan dapat merespon produksi maupun mineralisasi matriks. Pada akhir siklus remodelling, osteoblast tetap berada di permukaan tulang baru, atau masuk ke dalam matriks sebagai osteosit. Osteosit berada di lakunare, fungsinya belum jelas. Diduga di bawah pengaruh parathyroid hormon (PTH) berperan pada resorbsi tulang (osteositik osteolisis) dan transportasi ion kalsium. Osteosit sensitif terhadap stimulus mekanik dan meneruskan rangsang (tekanan dan regangan) ini kepada osteoblast. Osteoclast adalah mediator utama resorbsi tulang, dibentuk oleh prekursor monosit di sumsum tulang dan bergerak ke permukaan tulang oleh stimulus kemotaksis. Dengan meresorbsi matriks organ, osteoclast akan meninggalkan cekungan di permukaan tulang yang disebut Lakuna Howship. Berdasarkan histologisnya, maka pada tulang dikenal : tulang imature disebut woven bone, dimana serabut kolagennya tidak beraturan arahnya, ditemukan pada stadium awal penyembuhan tulang, bersifat sementara sebelum diganti oleh tulang mature yang disebut tulang lamellar, dimana serabut kolagen tersusun paralel membentuk lamina dengan osteosit diantaranya. Tulang lamellar mempunyai 2 struktur yaitu tulang kortikal yang tampak padat, dan tulang cancellous yang tampak seperti spon atau porous (Appely, 1993).

B. Remodelling Tulang

Ada 2 jalan pembentukan tulang. Endochondral ossification dengan osifikasi jaringan kartilago, seperti epifisial plate dan pada penyembuhan tulang. Membraneous ossification dengan osifikasi jaringan ikat seperti pembentukan tulang dari subperiosteal. Tulang selalu mengalami 2 proses, yaitu resorbsi dan pembentukan. Proses ini disebut remodelling atau turn over. Hal ini berarti tulang diperbarui kembali dan diperbaiki sepanjang hidup. Pada setiap proses remodelling terdapat rangkaian yang berurutan : osteoclast berkumpul pada permukaan tulang bebas dan membuat kavitas, kemudian menghilang dan setelah periode tak bergerak digantikan oleh osteoblast yang melanjutkan dengan mengisi kavitas yang terbentuk dengan tulang baru. Setiap siklus pergantian tulang, yang membutuhkan waktu antara 4 – 6 bulan, dikerjakan oleh sekelompok sel yang bekerja menyerupai sebuah konser, bersama-sama sel-sel tersebut membuat unit remodelling tulang.

Resorbsi dimulai saat osteoclast teraktivasi dan taksis ke permukaan tulang yang bermineral. Matriks organik dan mineral diambil secara bersamaan. Pada trabekula akan terbentuk cekungan dan pada korteks akan membentuk liang seperti kerucut terpotong (cutting cone). Setelah 2-3 minggu resorbsi berhenti osteoclast tak tampak. Sekitar 1-2 minggu kemudian cekungan diliputi osteoblast dan 3 bulan kemudian telah terjadi pembentukan dan mineralisasi tulang (Apley, 1993).

Pada saat remodelling tulang, resorbsi dan pembentukan berjalan secara bersamaan, keduanya bekerja saling bergantian. Dengan begitu dapat dijamin dalam waktu yang relatif pendek keseimbangan dapat terjaga, meskipun pada saat tertentu dan pada sisi manapun sebuah proses atau proses lainnya lebih dominan.

III. RESPON TERHADAP FRACTURE HEALING

Mencakup respon-respon yang terjadi pada :

A. Sumsum tulang (bone marrow)

B. Cortex

C. Periosteum, dan

D. Jaringan lunak eksternal

Tergantung pada tipe fraktur, lokasinya dan metode yang dipakai untuk merawat, maka satu atau beberapa dari respon-respon tersebut dapat berlangsung secara bersamaan (Einhorn, 1998).

A. Sumsum Tulang (bone marrow)

Segera setelah terjadinya fraktur, terjadilah kehilangan arsitektur normal unsur-unsur sumsum tulang, hilangnya pembuluh darah di regio dengan fracture callus clot, dan reorganisasi komplemen seluler dari sumsum tulang ke dalam regio yang mempunyai kepadatan seluler tinggi dan rendah. Di regio dengan kepadatan seluler yang tinggi, terjadilah transformasi sel-sel endotel menjadi sel-sel polymorfi, dan dalam waktu 24 jam setelah fraktur akan mengeluarkan osteoblastik fenotip dan mulai membentuk tulang baru. Aktivitas yang berlangsung dalam sumsum tulang selama terjadinya fracture healing tidak tergantung pada pengaruh mekanis (Fonseca and Walker, 1991).

B. Cortex

Penyembuhan primer atau cortical healing, mencakup upaya langsung yang dilakukan cortex untuk memantapkan kembali dirinya begitu terkoyak. Proses ini dapat berlangsung hanya apabila terdapat pemulihan anatomi dari fragmen fraktur yang menggunakan fiksasi internal rigid. Sel-sel peresorbsi tulang pada salah satu sisi dari fraktur mengalami tunnelling resoptive response, dimana akan memantapkan kembali sistem Haversi yang baru dengan jalan memberikan jalur (pathway) untuk penetrasi pembuluh-pembuluh darah. Pembuluh darah tersebut disertai sel endotel dan sel mesenkim perivaskuler yang menjadi sel osteoprogenitor untuk osteoblast. Peristiwa tersebut akan mengakibatkan pembentukan unit-unit remodelling yang berlainan dan disebut sebagai cutting cones.

Penyembuhan sekunder menyangkut respon pada periosteum dan jaringan lunak luar yang berakhir dengan pembentukan kalus.

C. Periosteum

Seperti telah disebutkan di muka, salah satu respon penyembuhan yang terpenting terjadi di sepanjang periosteum. Sel-sel osteoprogenitor yang berperan dan sel mesenkim undiferensiasi yang tidak berperan mendorong proses fracture healing dengan jalan rekapitulasi osifikasi embrionik dan pembentukan tulang endokondral.

Periosteal healing diketahui mampu menjembatani celah selebar setengah diameter tulang, dan tidak bergantung pada jaringan lunak eksternal. Proses ini diperbesar oleh gerakan dan dihambat oleh fiksasi rigid yang berlebihan.

Tulang yang terbentuk melalui osifikasi intramembran ditemui di tempat yang lebih jauh dari tempat fraktur, sehingga mengakibatkan pembentukan kalus keras yang membentuk tulang secara langsung tanpa terlebih dahulu membentuk kartilago. Protein struktural yang mengakibatkan matriks tulang terlihat awal pada jaringan tersebut. Tulang yang terbentuk melalui osifikasi endokondral dan dekat dengan tempat fraktur menyangkut timbulnya cartilage anlage yang mengapur dan diganti oleh tulang. Hal ini ditandai dengan produksi molekul-molekul yang ada kaitannya dengan berbagai tipe jaringan muskuloskeletal.

D. Jaringan Lunak Eksternal

Jaringan lunak eksternal memainkan peranan penting pada reparasi tulang dengan timbulnya jembatan kalus baru yang akan menstabilkan fragmen-fragmen fraktur. Tipe jaringan yang terbentuk dari jaringan lunak eksternal tersusun melalui sebuah proses osifikasi endokondral dimana sel-sel mesenkim undiferensiasi didapat, dilekatkan, berproliferasi, dan akhirnya berdiferensiasi menjadi sel-sel pembentuk kartilago.

IV. PROSES FRACTURE HEALING

Fraktur akan terjadi bila kekuatan traumatic injury yang dihasilkan melampaui sifat kekuatan dari tulang tersebut. Berbeda dengan jaringan-jaringan lain, yang seringkali merespon injury ini dengan membentuk jaringan parut, maka tulang mempunyai kemampuan untuk sembuh sendiri melalui regenerasi. Sifat fisis ini penting, karena memberi peluang struktur tulang yang cedera untuk kembali berfungsi dan mempunyai kekuatan seperti sebelum mengalami injury. Repair, hanyalah suatu kelanjutan dari proses fisiologi remodeling dan adaptasi fungsional (Fonseca dan Walker, 1991).

Yang bertanggungjawab dalam fracture healing adalah debridement, stabilisasi dan remodeling pada tempat fraktur. Penyembuhan dapat secara primer apabila ada fiksasi rigid dan sekunder apabila tanpa fiksasi rigid. Penyembuhan primer terjadi jika ada kontak langsung yang kuat antara fragmen fraktur. Pada radiograf tidak terlihat kalus yang menjembatani penyembuhan ini. Biasanya terjadi sekitar dua minggu sejak terjadinya injury. Ini merupakan metode fracture healing dengan fiksasi kompresi rigid. Fiksasi rigid memerlukan kontak kortikal yang langsung dan pembuluh darah intrameduler yang utuh. Proses penyembuhan terutama tergantung karena resorpsi osteoclast dari tulang yang diikuti dengan pembentukan tulang baru oleh osteoclast (Bostrom, 2000) (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1. Fiksasi kompresi rigid pada sebuah fraktur dengan menggunakan plat. Terjadi kontak kortikal langsung dan vasculature intrameduler yang utuh, yang menghasilkan penyembuhan tulang primer. Pertumbuhan tulang baru secara langsung terjadi pada ujung tulang yang dikompresi untuk menyatukan fraktur.

Gambar 2. Gambaran mikroskopis dari penyembuhan tulang primer. Terjadi resorpsi osteoclastic pada tulang yang melintang daerah fraktur, diikuti dengan pembentukan tulang baru osteoblastik. Pertumbuhan tulang baru langsung terjadi pada ujung tulang yang dikompresi. Absorpsi tulang disebut dengan cutting cones. Proses ini diikuti dengan pertumbuhan vaskuler ke dalam dan pembentukan tulang baru osteoblastik.

Penyembuhan sekunder menunjukkan terjadinya mineralisasi dan penggantian tulang dari matriks kartilago yang secara khas tampak pada rö photo dengan pembentukan kalus. Jembatan kalus eksternal akan menambah stabilitas pada tempat fraktur dengan bertambah lebarnya tulang. Ini terjadi pada penggunaan gips dan fiksasi eksternal maupun penggunaan intramedullary nail.

Metode dari perawatan fraktur, sebagian menentukan hasil penyembuhan tulang. Pada umumnya alat stress sharing seperti gips, beberapa alat intramedullary nail, fiksasi eksternal tidak memberikan fiksasi rigid pada tempat fraktur. Karena itu penyembuhan tulang sekunder dengan pembentukan kalus diharapkan pada kasus ini. Secara statistik intramedullary nail lebih rigid dan lebih baik pembentukan kalus tidak berlebihan. Alat pelindung tekanan seperti plat kompresi menghasilkan fiksasi rigid pada tempat fraktur tanpa adanya kepingan-kepingan tulang. Alat tersebut memegang peranan penting untuk penyembuhan tulang primer. Pada rö photo tidak terlihat kalus.

Sebagian besar fraktur akan pulih melalui kombinasi dari osifikasi intramembran dan endokondral melalui lima fase healing yang overlapping, sebagai berikut (Einhorn cit Chairuddin, 1998) :

1. Hematoma dan peradangan

Segera setelah fraktur, timbullah hematoma di tempat fraktur. Hematoma ini memberikan sinyal kepada molekul yang mempunyai kemampuan untuk mengawali rangkaian peristiwa seluler yang sangat penting untuk fracture healing. Misalnya, sel-sel peradangan yang mensekresi cytokines, seperti interleukins-1 dan interleukins-6, penting di dalam pengaturan kejadian awal proses penyembuhan fraktur. Disamping itu, platelet yang telah diaktifkan dalam jendalan bisa melepaskan molekul pemberi sinyal, seperti transforming growth factor beta (TGF-β) dan platelet derived growth factor (PDGF), yang penting dalam memicu arus gelombang pemasukan sel-sel mesenkim. Rangkaian cytokines selanjutnya akan membawa sel-sel repair seperti fibroblast, sel endothel dan osteoblast ke dalam celah fraktur.

2. Angiogenesis dan pembentukan kartilago

Selama 7-10 hari pertama penyembuhan fraktur, gambaran histologis menunjukkan pembentukan jaringan ikat termasuk kartilago dan kapiler-kapiler baru dari pembuluh-pembuluh yang sudah ada sebelumnya di dekat periosteum dan jaringan lunak eksternal.

3. Kalsifikasi kartilago

Pada pertengahan minggu kedua setelah fracture healing, banyak kartilago terhampar di atas tempat fraktur dan jaringan chondroid ini mengawali persiapan biokimiawi untuk mengalami kalsifikasi. Kalus dapat dijumpai dalam dua tipe, yaitu : kalus keras, dimana berlangsung osifikasi intramembran, dan kalus lunak dimana proses osifikasi endokondral berlangsung.

4. Penghilangan kartilago dan pembentukan tulang

Pada fase ini terbentuk woven bone baik secara langsung dari jaringan mesenkim (intramembran) maupun melalui fase intermediate dari kartilago (rute endochondral atau chondroid).

5. Remodelling tulang

Woven bone dilakukan remodeling menjadi tulang lamellar yang lebih kuat melalui kerjasama antara resorbsi tulang osteoclast dan pembentukan tulang osteoblast.

Apley dan Solomon, 1993; cit Armis, 1994, juga membagi fracture healing menjadi lima stadium (Gambar 3), yaitu :

Gambar 3. Stadium penyembuhan fraktur

1. Pembentukan hematoma. Pada daerah fragmen fraktur terdapat penimbunan darah.

2. Organisasi hematoma (stadium inflamasi). Dalam beberapa jam setelah trauma maka fibroblas dan jaringan di sekitar fraktur masuk ke hematoma tersebut dan beberapa hari kemudian terjadi pembentukan kapiler di daerah tersebut. Secara bertahap hematoma tersebut menjadi jaringan granulasi.

3. Pembentukan kalus. Fibroblas yang ada di jaringan granulasi mengalami metaplasia dan berubah menjadi kolagenoblas khondroblas, kemudian menjadi osteoblas. Osteoblas dari jaringan tulang yang sehat juga ikut partisipasi. Timbunan jaringan tulang berada di sekitar jaringan kolagen dan pulau-pulau kartilago. Keadaan ini disebut woven bone. Kalus tersebut mengakibatkan fragmen-fragmen bersatu dan pada pemeriksaan akan teraba kalus dan dapat terlihat pada gambaran ro photo.

4. Konsolidasi. Woven bone berubah menjadi lamellar bone dan fraktur menjadi solid (union).

5. Remodelling. Kalus yang berlebihan di sekitar fragmen-fragmen tersebut menghilang sehingga terbentuk tulang normal atau mendekati bentuk normal. Kanalis medularis mulai terbentuk. Pada anak-anak mempunyai daya remodeling yang sangat besar sehingga dapat mengoreksi deformitas yang terjadi akibat pergeseran fragmen satu sama lain bahkan diskrepansi yang terjadi akibat fraktur tersebut.

Fase bone healing menurut Sheikh (2000) :

Fase

Waktu

Fase penyembuhan

% Aktivitas pokok

Strength (0-4) *

Fungsi

inflamatory

hari

10%

- debridement tulang

- reaksi inflamatory dan aktivitas osteoclast

0

total terbatas

reparative

minggu – bln

40%

- kalus lunak

- jaringan fibrous

- sejumlah kecil kartilago pada tulang

- kalus keras

- anyaman tulang

- perubahan bentuk jaringan digantikan secara mekanik

1 – 2

3

terbatas

meningkat

remodeling

tahun

70%

- pembentukan lembaran tulang

- resorpsi kelebihan kalus

- aktivitas osteoblast dan osteoclast

- pembentukan canalis medularis

4

hampir normal

* strength 0 – 4, dimana 4 paling kuat

V. PENGATURAN TERHADAP FRACTURE HEALING

Dengan adanya identifikasi hormon yang pernah dilakukan pada tahun 1921, deskripsi tentang protein morfogenik tulang pada tahun 1965 dan riset super family signal effector (SMAD), menjadi semakin jelas bahwa fracture healing itu melibatkan suatu kompleks interaksi dari banyak faktor pengaturan lokal dan sistemik. Diantaranya :

- Bone morphogenetic proteins (BMPs)

- Transforming growth factor-β (TGF-β)

- Platelet-derived growth factor (PDGF)

- Fibroblast growth factor (PGF)

Yang paling penting faktor-faktor tersebut mempunyai fungsi yang jelas dalam pengaturan pembentukan tulang dan mempunyai kemampuan unluk menstimulasi aksi-aksi dalam pembentukan tulang telah diuji secara luas.

Faktor-faktor pertumbuhan berupa polipeptid spesifik-jaringan yang bekerja sebagai pengatur lokal aktifitas seluler. Faktor pertumbuhan menjalankan fungsi biologinya dengan jalan mengikat reseptor cell-surface transmembrane yang besar pada sel target. Pada pengikatan reseptor transmembran ekstraseluler, maka lingkup intraseluler distimulasi yang akan menyebabkan pengaktifan protein kinase yang spesifik. Efek in vivo dari protein kinase puncaknya adalah pengaktifan transkripsi gen ke dalam mRNA, yang selanjutnya akan menyebabkan diproduksinya protein-protein (Soidheim, 1998). Berbagai model kultur osteoblast maupun eksperimen in vivo dan model klinis telah menunjukkan bahwa faktor-faktor pertumbuhan tersebut mempengaruhi proliferasi seluler, differensiasi, kemotaksis dan sintesa protein.

Faktor-faktor pertumbuhan banyak berperan pada fracture healing yang melibatkan suatu interaksi kompleks dari banyak faktor pengaturan lokal dan sistemik. Akibatnya, peptida-peptida tersebut menjadi lingkup yang esensial bagi riset untuk mempertinggi fracture healing. Faktor-faktor tersebut dihasilkan dengan cara autocrine dan paracrine dan interaksi yang kompleks dari mediator-mediator lokal dan akan menyebabkan sel-sel mesenkim yang undifferensiasi bermigrasi, berproliferasi dan berdifferensiasi di tempat fraktur. Faktor pertumbuhan tersebut, bersama-sama dengan

VI. TERMINOLOGI PANYEMBUHAN FRAKTUR

Union

Adalah istilah penyatuan fragmen-fragmen fraktur oleh tulang baru, ada dua macam : union klinis dan union radiologis. Pada union klinis (incomplete union) teraba masa kalus yang lunak dan pada gerakan angulasi penderita masih mengeluh nyeri dan pada radiografi terlihat jelas garis fraktur. Penyembuhan belum komplit dan tulang masih membutuhkan proteksi terhadap tekanan. Pada union radiologis telah terjadi konsolidasi, daerah fraktur tidak lunak lagi, sewaktu melakukan angulasi penderita tidak merasa nyeri dan tidak ada gerakan. Radiografi telah terjadi pengerasan kalus yang menjembatani fragmen-fragmen fraktur walaupun sebagian garis fraktur tersebut tidak hilang. Waktu yang dibutuhkan untuk terjadi union tergantung pada umur penderita, vaskularisasi, tipe fraktur, kondisi penderita dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan kalus. Prediksi union dari Perkin sbb : Union pada fraktur spiral anggota gerak atas terjadi dalam waktu tiga minggu, adapun kejadian konsolidasi dikalikan dua menjadi enam minggu. Anggota gerak bawah dikalikan dua. Untuk fraktur transversal anggota gerak atas dikalikan dua, sehingga union fraktur tersebut membutuhkan waktu 6-8 minggu; sedangkan pada anggota gerak bawah dikalikan dua. Union pada fraktur anak-anak waktunya lebih cepat dibanding orang dewasa. Oleh karena itu pemeriksan klinis dan radiologis sangat dibutuhkan untuk melepaskan proteksi yang diberikan pada penderita.

Nonunion

Adalah istilah kegagalan penyatuan fragmen-fragmen fraktur. Penyebabnya adalah distraksi, interposisi, gerakan yang luar biasa pada fragmen fraktur dan kerusakal vaskularisasi di daerah tersebut. Sel fibroblas sangat dominan sehingga gap antar fragmen terisi oleh jaringan ikat ; akibatnya fragmen-fragmen fraktur masih bergerak bila diberikan tekanan bahkan dapat terbentuk sendi palsu yang disebut pseudoartrosis Pada kasus-kasus tertentu dapat terjadi pembentukan tulang di daerah periosteum tapi gagal menjembatani fragmen-fragmen fraktur, akibatnya terlihat ujung-ujung fragmen melebar dan tebal. Kondisi ini disebut non-union tipe hipertropik dan masih dapat diharapkan terjadi union asal fiksasi diperbaiki. Non-union tipe atrofik tidak mengalami pembentukan tulang baru di sekitar ujung-ujung fragmen fraktur dan keadaan ini memerlukan tindakan yang serius agar union tercapai. Istilah delayed union diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk union diperlama, dengan maksud pada waktu diperkirakan union, tidak terlihat adanya tanda-tanda union pada pemeriksaan klinis dan radiografis.

Malunion

Adalah union fraktur yang terjadi tidak dalam posisi anatomis karena malreduction sehingga terlihat adanya angulasi atau rotasi. Malunion membutuhkari tindakan koreksi agar kosmetik dan fungsi kembali seperti semula kecuali malunion yang dapat diterima.

VII. KEPUSTAKAAN

Apley, AG., and Solomon L, 1993, Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, 7th ed., Butterworth-Heinemann Ltd., p. 107-113.

Armis, FICS, 1994, Trauma Sistema Muskuloskeletal, Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta, hal. 6

Bostrom, M.P, Xu Yang dan Koutras, I., 2000, Biologics in Bone Healing, Current Opinion in Orthopedics, 11:403 – 412

Chairuddin, R., 1998, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Cetakan I, Penerbit Bintang Lamumpatue, Ujung Pandang, hal. 6 – 11.

Fonseca, R.J and Walker, R.V. 1991, Oral and Maxillofacial Trauma, Vol. 1, W.B. Saunders Co., Philadelphia, hal. 31-44.